Bisnis Properti Jakarta Tak Terpengaruh Pindahan Ibu Kota

Bisnis Properti Jakarta Tak Terpengaruh Pindahan Ibu Kota

Ibukotakita-Upaya pemindahan ibu kota negara ke Provinsi Kalimantan Timur diprediksi tidak akan terlalu memengaruhi bisnis properti di Jakarta.

“Tidak akan banyak pengaruh, karena pemindahan 1,5 juta orang tidak akan terlalu mengubah perekonomian kota dengan populasi 10 juta orang,” jelas Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute (JPI), Wendy Haryanto, Senin (14/10/2019).

Jakarta masih akan cukup menarik bagi pada pebisnis properti untuk tetap melakukan pengembangan, asalkan didukung oleh perbaikan regulasi, dan perizinan. Pemerintah diharapkan bisa memberikan insentif kepada pihak swasta yang ingin terlibat dalam kerja sama pemanfaatan aset barang milik negara (BMN) di Jakarta.

Wendy Haryanto mengatakan pemberian insentif diperlukan untuk menarik minat swasta, khususnya pengembang agar mau bekerja sama dengan pemerintah untuk pemanfaatan aset BMN yang ada di Jakarta. “Tawarannya sebenarnya menarik, tetapi bergantung pada beberapa hal lain, seperti lokasi, dan jangka waktu kerja samanya,” ujarnya.

Wendy mengatakan untuk skema kerja sama pemanfaatan (KSP), pihak swasta tidak diperkenankan untuk mengubah bentuk gedung. Sementara itu, untuk skema kerja sama bangun guna serah atau build operate transfer (BOT) pengembang diperkenankan untuk mengubah bentuk gedung.

Namun, untuk menjalankan skema tersebut, Wendy menyatakan persoalan yang menjadi perhatian pengembang ialah jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengubah gedung membutuhkan waktu, dan proses yang cukup panjang.

Pemerintah juga sebaiknya mengkaji aturan yang menetapkan bahwa jangka waktu kerja sama BOT hanya dibatasi maksimum 30 tahun yang terhitung sejak resmi ditekennya kerja sama pemanfaatan aset BMN.

Menurutnya, jangka waktu 30 tahun dirasa kurang memadai, dan menarik bagi pengembang. Waktunya akan terpotong pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) yang bisa mencapai 3 tahun, dan pembangunan selama 2—3 tahun. “Artinya hanya tersisa sekitar 24 tahun, sehingga tidak memadai,” ungkapnya.

Wendy menilai sebaiknya pemerintah memperpanjang batas waktu kerja sama menjadi maksimum 50 tahun. Selain itu, dibutuhkan adanya insentif perpajakan untuk menarik minat swasta. (JIBI/Fitri Sartina Dewi)

 

 

 

 

Leave your comment
Comment
Name
Email