BMKG: Potensi Risiko Tsunami di Ibu Kota Baru Bantu Siapkan Mitigasi Bencana

BMKG: Potensi Risiko Tsunami di Ibu Kota Baru Bantu Siapkan Mitigasi Bencana

IBUKOTAKITA.COM-Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengapresiasi kajian ilmuan Inggris yang menyebut adanya potensi risiko  tsunami di calon ibu kota baru atau ibu kota negara (IKN) baru di Kaltim. BMKG menyebut kajian tersebut membantu Indonesia dalam memitigasi bencana.

“Kami tentu mengapresiasi penelitian ini, karena selain memperkaya khasanah pengetahuan kita terkait bahaya sedimentasi dan longsoran di dasar laut juga memberi petunjuk kepada kita adanya potensi bahaya tsunami akibat longsoran di dasar laut Selat Makassar,” kata kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono dalam keterangannya dalam keterangan tertulis seperti ditulis detikcom, Senin (27/4/2020).

“Hasil kajian ini dapat membantu kita dalam mengestimasi tingkat bahaya tsunami yang mungkin terjadi, sehingga kita dapat menyiapkan strategi mitigasinya,” imbuhnya.

Daryono mengatakan ada beberapa kasus tsunami masa lalu yang belum terungkap penyebabnya. Dalam dugaan tsunami tersebut berhubungan dengan longsoran dasar laut. Seperti tsunami Teluk Amabon 1708 hingga tsunami Helmahera Utara tahun 1969.

“Di Indonesia, ada beberapa kasus tsunami masa lalu yang hingga kini belum terungkap penyebabnya, diduga tsunami ini berasosiasi dengan longsoran dasar laut.

Dalam semua peristiwa tersebut, tsunami tidak didahului oleh aktivitas gempa tektonik,” jelasnya.

Selain itu, ada beberapa stunami lainnya yang belum diketahui penyebabnya hingga sekarang. Peristiwa tersebut juga belum bisa disimpulkan berasal dari longsoran laut.

“Peristiwa Tsunami Pulau Sumber Gelap 1917 hingga kini belum diketahui sebabnya. Tsunami setinggi 1,5 meter ini teramati di Pulau Sumber Gelap dan menimbulkan kerusakan parah di Pantai Pagatan Kalimantan Selatan. Adakah kaitan peristiwa tsunami ini dengan fenomena longsoran dasar laut seperti yang dimaksud dalam kajian peneliti asing tersebut? Hingga kini masih menjadi misteri, tentu perlu ada kajian khusus yang mendalam termasuk kajian paleotsunami untuk menjawabnya,” ucapnya.

Selain selat Makassar yang disebut dalam penelitian itu, ada beberapa titik lainnya yang memiliki kawasan rawan longsor dasar laut. Seperti di Selat Sunda, Samudera Hindia dan beberapa tempat lainnya.

“Selain Selat Makassar, beberapa wilayah perairan Indonesia diduga memiliki kawasan rawan longsor dasar laut yang dapat membangkitkan tsunami. Sehingga kita sebenarnya membutuhkan banyak kajian potensi longsoran dasar laut, khususnya di samudra Hindia, Selat Sunda, Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku, dan Laut Utara Papua,” ucapnya.

Semenra itu Indonesia baru dua kali mengalami peristiwa tsunami akibat longsoran. Yaitu tsunami Selat Sunda pada Desember 2018 dan tsunami Palu September 2018.

“Baru-baru ini kita mengalami 2 kali peristiwa tsunami destruktif akibat longsoran, yaitu Tsunami Selat Sunda akibat longsoran Gunung Anak Krakatau 22 Desember 2018 dan Tsunami Teluk Palu akibat longsoran saat gempa Palu 28 September 2018. Kedua bencana tsunami akibat longsoran ini menelan korban jiwa dan kerugian harta benda sangat besar,” kata dia.

Daryono mengatakan tsunami yang disebabkan oleh longsoran dasar laut di Indonesia saat ini belum terungkap. Namun dia menegaskan bahwa perairan RI menyimpan potensi tsunami non tektonik yang cukup besar.

“Baik tsunami akibat longsoran terkini, maupun tsunami masa lalu yang belum terungkap penyebabnya, merupakan pertanda bahwa wilayah perairan kita menyimpan potensi bahaya tsunami non tektonik yang cukup besar,” jelas Daryono.

Sebelumnya, sekelompok ilmuwan mengungkap potensi risiko tsunami di wilayah yang dipilih pemerintah Indonesia sebagai calon ibu kota baru. Para peneliti tersebut menemukan bahwa tanah longsor bawah laut pernah beberapa kali terjadi di Selat Makassar, antara pulau Kalimantan dan Sulawesi.

Jika kejadian tanah longsor yang paling besar terulang hari ini, tsunami akan muncul yang bisa membanjiri Teluk Balikpapan daerah yang dekat dengan calon ibu kota. Namun tim peneliti yang terdiri dari ilmuwan Inggris dan Indonesia mengatakan tidak perlu bereaksi berlebihan.

“Masih banyak pekerjaan yang harus kami lakukan untuk menilai situasi ini dengan tepat. Namun demikian, ini adalah sesuatu yang mungkin harus dipertimbangkan sebagai risiko oleh pemerintah Indonesia meskipun kita hanya membicarakan peristiwa ‘frekuensi rendah, dampak tinggi’,” kata Dr. Uisdean Nicholson dari Heriot-Watt University, Inggris.

Leave your comment
Comment
Name
Email