Bukit Soeharto Kawasan Konservasi, Pembangunan Ibu Kota Baru Berisiko Ekologis

Bukit Soeharto Kawasan Konservasi, Pembangunan Ibu Kota Baru Berisiko Ekologis

ibukotakita — Rencana pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia (RI) ke Kalimantan Timur, salah satunya di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kertanegara, akan memberi dampak ekologis bagi alam dan ketersediaan air baku.

Firdaus Ali dari Indonesian Water Institute mengatakan pemerintah masih melakukan kajian lebih mendalam atas tiga kandidat terkuat pemindahan Ibu Kota yakni; Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Menurut Firdaus, ada beberapa dampak ekologis jika Kalimantan Timur melalui kawasan yang ditunjuk, yakni Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, menjadi ibu kota negara. Oleh sebab itu, akan lebih mudah untuk membangun ibu kota di Kalimantan Tengah.

“Jika dipilih di Kaltim, khususnya Tahura Bukit Soeharto, tentu risiko lingkungan akan lebih besar ketimbang di Kalteng, yakni Kabupaten Gunung Mas,” terang Firdaus saat dihubungi Bisnis/JIBI, Kamis (9/5/2019).

Menurut Firdaus, Tahura Bukit Soeharto adalah kawasan konservasi dan merupakan area resapan air untuk Kota Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kabupaten Kutai Kertanegara. Luas Tahura Bukit Soeharto berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 419/Menhut-II/2004 pada Oktober 2004 adalah 61.850 hektare.

Berdasarkan UU No. 5/1990, tahura adalah kawasan konservasi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Oleh sebab itu, kawasan Tahura Bukit Soeharto juga adalah ekosistem hutan yang dilindungi, termasuk tumbuhan, satwa, sehingga berlokasi tak jauh dari pemukiman karena bisa menjadi area wisata.

Sementara, di Kalteng, Kabupaten Gunung Mas merupakan daerah daratan yang luas dari segi kegempaan juga sangat aman. Lokasi ini juga belum sepenuhnya akan berdampak pada Pegunungan Maratus yang membentang dari Kalsel, Kalteng, dan Kaltim.

“Kemudahan dalam membangun infrastruktur dan pembebasan lahan di Kalteng menjadi pertimbangan penting,” sambung Firdaus.

Menurut Firdaus Ali, masalah ekologis lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah risiko banjir yang akan mengancam Kota Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kertanegara. Dia menilai, kawasan Tahura Bukit Soeharto juga rawan mengalami kebakaran hutan dan juga pemicu banjir.

Sumber Air

Senada dengan Firdaus, pemerhati sosial dan lingkungan hidup dari The Nature Conservacy (TNC) Kaltim, Niel Makinuddin menyatakan Tahura Bukit Soeharto sebenarnya berfungsi secara hidrologis sebagai sistem air bagi Balikpapan, Samarinda, Kutai Kertanegara, sampai Penajam Paser Utara.

Niel mengatakan Bukit Soeharto dialiri oleh tujuh daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara pada tiga tempat yakni; Sungai Mahakam dan Sungai Loa Haur, DAS yang bermuara di Selat Makassar adalah Sungai Seluang, Tiram, Bangsal, Serayu, dan Salok Cempedak. Ketiga, adalah DAS yang bermuara di Teluk Balikpapan adalah Sungai Semoi.

“Bukit Soeharto ini sumbernya sumber air bersih di tiga wilayah Kaltim,” kata Niel.

Selain sumber air bersih, ekosistem keanekaragaman hayati di Tahura Bukit Soeharto juga bisa terancam. Sebagai catatan, kawasan ini sudah menjadi tempat rehabilitasi bagi tanaman sejenis akasia, sengon, meranti, hingga mahang.

Bukit Soeharto juga menjadi ekosistem bagi orang utan, beruang madu, macan dahan, landak, owa-owa, trenggiling, rusa sambar, tupai, musang, cucak rawa, babi hutan, hingga biawak. Oleh sebab itu, Niel mengusulkan jika Tahura Bukit Soeharto difokuskan sebagai kawasan wisata terpadu untuk pendidikan.

“Kalau harus dipaksakan di Bukit Soeharto, rasanya terlalu mahal harga kehilangan kekayaan hayati tumbuhan dan binatang serta jasa lingkungan,” terangnya. (Bisnis/Gloria Fransisca Katharina Lawi)

Leave your comment
Comment
Name
Email