Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kaltim Tergolong Tinggi

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kaltim Tergolong Tinggi

IBUKOTAKITA.COM-Bumlah kasus kekerasan perempuan dan anak di provinsi Kalimantan Timur cukup tinggi yaitu mencapai 1.836 kasus. Jumlah ini berdasarkan data aplikasi Simfoni sejak tahun 2017 hingga 2019.

“Data sebanyak itu berdasarkan dari laporan yang dihimpun dalam aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni),” kata Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Halda Arsyad di Samarinda, Rabu (19/2/2020).

Dari jumlah kekerasan yang mencapai 1.836 kasus itu, Kota Samarinda menempati posisi tertinggi, yakni sebanyak 877 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam tiga tahun terakhir.

Ia menuturkan bahwa jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak di Kaltim setiap tahunnya cukup fluktuatif, seperti pada 2016 kasusnya tinggi, namun pada 2017 mengalami penurunan, pada 2018 naik lagi dan 2019 kembali turun.

Fluktuasi ini, lanjut Halda, bukan berarti kasus kekerasannya turun atau naik, namun ada beberapa sebab terhadap data-data Simfoni yang menyebabkan pencatatannya fluktuatif.

“Fluktuatif terjadi karena kasus kekerasan ini seperti fenomena gunung es, yakni kejadian yang dilaporkan tidak sebanding dengan kenyataan yang ada, maka saya harap masyarakat dan teman-teman aktivis dapat membantu karena dalam penanganan kekerasan tidak hanya negara yang harus hadir, tapi juga bersama semua elemen masyarakat,” tuturnya.

Ia melanjutkan, mencermati arahan Presiden Joko Widodo tentang reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus dan data yang dihimpun aplikasi Simfoni, maka khusus untuk penanganan di Kota Samarinda diperlukan Pelatihan Manajemen Penanganan Kasus (PMPK) seperti yang ia gelar sehari sebelumnya, agar bisa memimalkan kekerasan.

“Pak presiden menekankan, sedikitnya ada tiga hal dalam penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak, pertama adalah memprioritaskan pencegahan kekerasan dengan melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat,” ucapnya.

Kedua adalah membenahi sistem pelaporan dan layanan pengaduan kekerasan (SPLPK), agar masyarakat umum mengetahui kemana harus melapor, mengontak nomor layanan yang mudah diakses, dan mendapat respons cepat.

Ketiga adalah perlu dilakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus kekerasan agar dapat diproses cepat, terintegrasi, dan komprehensif.

“Bila perlu dengan pola one stop service [OSS], yakni mulai dari layanan pengaduan, pendampingan, hingga pada perolehan layanan kesehatan bagi korban,” ujar Halda lagi. (Antara)

Leave your comment
Comment
Name
Email